Tuesday, 14 August 2012

Kemerdekaan Ekonomi Sekarang Juga!!!

Ada yang menarik pada HUT Indonesia kali ini, karena bertepatan dengan akhir bulan Ramadhan dan menuju pada puncaknya yakni Idhul Fitri. Umat Islam diseluruh dunia tanpa terkecuali, merayakan hari kemenangan, tak lain karena telah melewati sebulan penuh dengan kewajiban berpuasa. Kemudian satu pernyataan yang penting yang perlu saya kemukakan untuk mengawali kedua momentum besar ini adalah “Kemerdekaan ekonomi adalah landasan untuk berdirinya kemerdekaan beragama”, mengapa? betapa tidak, ketimpangan yang ada selama ini berasal dari penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh para pencari untung dari negeri seberang, kita menderita cacat dalam beragama, cacat dalam toleransi, cacat dalam politik, cacat dalam hampir semua hal dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dalam momentum Hari Kemerdekaan kali ini (saya sendiri sudah lupa ini yang keberapa) alangkah sangat bijaksananya jika kita memperkokoh perjuangan untuk merebut kemerdekaan ekonomi.

Merdeka…Merdeka…Merdeka…!!!

Sebenarnya rakyat Indonesia menyadari atau tidak, kalau kita sedang mengalami keterjajahan dalam bidang ekonomi. Indikator ekonomilah yang membuat kita terjajah dalam hal beragama, berpolitik, berbudaya, dan lain-lain.

Anda ingat dengan konflik-konflik masyarakat yang timbul belakangan ini? Kita lihat konflik kekerasan di Papua dalam tahun 2012 ini eskalasinya yang semakin menunjukan kenaikan yang cukup berbahaya. Barometer yang kemudian saya gunakan adalah kondisi ekonomi rakyat yang jauh dari kesejahteraan. Kalau saya baca pada sebuah blog dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mereka sedang berusaha keras memberantas para koruptor lokal yang memainkan politik kotornya dengan menjebak grass root Papua dengan memberi suap, agar dana otsus terus mengalir ke kantong-kantong para penguasa. Isu keterbelakangan terus dikobarkan seperti api menyala di negeri ini, padahal langkah kongkrit dari pemerintah belum menemukan hasilnya sejak dikucurkannya dana otsus ini. Hal lain yang terpenting adalah persoalan privatisassi BUMN. PT Freeport adalah perusahaan penghasil emas terbesar di dunia, kita lihat antara tahun 1992-2004 PT Freeport memberikan pemasukan 33 milyar dolar AS kepada Indonesia. Sedangkan amanat konstitusi yakni pasal 33 UUD 1945 poin ke 3 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan oleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sementara kita lihat pemegang saham terbesar pada perusahaan penghasil emas terbesar didunia ini dipegang oleh investor asing : Freeport-McMoRan Copper & Gold.Inc (81,28%), Pemerintah (9,36%), PT Indocopper Investama (9,36%).

PT Freeport kini sedang dalam negosiasi pemanjangan kontraknya dengan pemerintah yang berakhir 2021 untuk kemudian ditambah lagi sampai dengan 2041.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketidak-konstusionalnya pemerintah, padahal kita tahu bahwa dalam amanat konstitusi sudah jelas, ekonomi Indonesia harus terbebas dari intervensi asing. Tetapi apa yang terjadi adalah buah dari pemerintahan yang tidak pro-rakyat.

Jelaslah wagra Papua menjadi bringas, bagaimana tidak, alam digaruk habis-habisan sementara anak-cucunya tidak mengenal pendidikan, mati karena malaria. Jadi kalau anda melihat berita tentang konflik Papua, anda jangan menginterpretasikannya menjadi gerakan memerdekakan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi itu adalah gerakan untuk merebut kemerdekaan ekonomi secara mutlak agar anak-cucu dapat hidup layak di tanahnya bukan sebaliknya, “menjadi babu di rumahnya”.

Semoga rakyat Indonesia menyadari keterjajahan kita pada hari ini. Penjajahan besar-besaran dibidang ekonomi yang memaksa setiap tindakan ekonomi untuk mengacu pada Kapitalisme-Neoliberal.

Kita sedang mengalami Neokolonialisasi, kita belum meredeka!!!

Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1433 Hijriah,, mari satukan tekad untuk terbebas dari belenggu Neokolonialisme.

Oleh : Hambali Tamher

Tuesday, 7 August 2012

Kajian singkat Ekopol : Persilangan Kekerasan

Kita melihat bagaimana demokrasi bekerja dengan denyut nadi dan aliran darahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga setiap bagian tubuh dapat merasakan kebebasan berargumentasi dengan leluasa (meski tidak seluas/sebebas yang diharapkan).

Kita kembali sejenak pada masa Pra-Revolusi dan Pasca-Revolusi Indonesia, pada Era Kolonialisme Belanda 350 tahun lamanya dan Fasisme Jepang kurang lebih 3 tahun dan berakhir dengan kemerdekaan Indonesia setelah Proklamasi dibacakan oleh Bung Karno. Dan kita sama-sama pernah mendengar bagaimana perjuangan para Fighter (rakyat indonesia) kita dimasa-masa sulit itu. Satu lankah telah tuntas: kita terbebas dari koloni secara fisik. Meski perjuangan para Fighter ini masih terus berkobar pada masa setelah itu untuk mencapai kemerdekaan secara mutlak (absolute free) kepada seluruh rakyat Indonesia, agaknya terganjal dengan berbagai pergulatan politik, pertententangan dari berbagai ideologi yang tumbuh subur setelah itu dengan satu tujuan kemakmuran Indonesia.

Tiba pada masa Orde Baru (orba) Indonesia mengalami kemunduran dalam hal kemerdekaan berargumentasi. Dengan Jenderal Suharto pada pucuk pimpinan negara, selama 32 tahun gejolak terjadi dimana-mana diawali dengan pembantaian rakyat atas tuduhan komunis 1965-1966, peristiwa malari 1974, komando jihad made in Opsus 1971, penculikan aktivis pasca 1998, dan konflik agama di beberapa wilayah di Indonesia yang dimainkan oleh Negara.

Dihari-hari ini kita mengalami sebuah perang yang sangat mendasar yakni perang melawan kepalsuan, kepalsuan yang timbul oleh pemberlakuan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal yang oleh SBY sebagai kepanjangan tangan dari pada kaum kapitalis internasional (imperialisme barat), kita diharuskan mengalir mengikuti deras arus aliran air ini. Segala bentuk kritisisme dihalau oleh peran media dengan tayangan-tayangan yang sangat menghanyutkan dan mengantarkan kepada tempat istirahat idaman setiap manusia: surga.

Di satu sisi di saat yang sama, rakyat dipaksa merubah demokrasi menjadi mayoritarianisme, dimana warga negara terpisah oleh mayoritas dan minoritas, mayoritarianisme ini oleh negara dijadikan sebagai alat untuk akumulasi kekuasaan politik untuk kemudian melanggengkan sistem kapitalisme-neoliberal.

Kita bisa saksikan dengan berbagai kasus tindak kekerasan berlandaskan ideologis atau paham tentang ketuhanan, yang dipertontonkan negara melalui kaki tangannya: milisi sipil reaksioner (berbasis agama terutama). Baru-baru ini kita menyaksikan melalui layar kaca tentang aksi kekerasan di Monas (insiden monas) 1 Juni 2008 oleh FPI, yang teranyar saat ini adalah aksi kekerasan terhadap HKBP Filadelfia, Bekasi, yang dilarang beribadat oleh ormas mayoritas dan oleh warga termakan oleh provokasi media.



Kemudian yang menjadi keprihatinan saya pribadi adalah tindakan kekerasan ini terjadi bukan hanya di ibu kota dan eskalasinya menaik, kita bisa saksikan pada publikasi media. Dan kapan tindak kekerasan berlandaskan ideologi mayoritas ini bisa berakhir? Mengapa pemerintah dalam hal ini aparat terkait tidak menindak (menumpas) para penebar moral ini? Apakah benar ini black-project instansi tertentu dan politisi di negara ini?

***Saya akan menjawab pertanyaan ini pada lanjutan berikut.