Saturday, 12 November 2011

"Revitalisasi NKRI"

Tahun baru Hijriyah 1431 dan Saka Jawa 1943 serta Masehi 2009 baru  saja berlalu dan tak
lama lagi tahun baru Imlek 2561 dan Saka (Hindu) 1932 pun akan segera menyusulnya. Dalam local wisdom, angka tahun itu disimbulkan baik sebagai candra sengkala maupun surya sengkala yang secara filosofis menjiwai tahun takwin yang sedang berlangsung seperti “1943SJ” candra sengkalanya adalah : Tri Samudera Gapuraning Jagad” (Samudera Indonesia, Laut China Selatan & Samudera Pacific ?, seiring ditemukannya “Benua Atlantic” sebagai pusat budaya dunia yang dinyatakan hilang itu yakni ternyata Nusantara ini) dan tahun 2010 M, surya sengkalanya “Niring Jalma Ilanging Panembah”.
Maknanya tiada lagi “jalma – manusia” (yang ada tinggal sosoknya saja yang tanpa hati nurani), sihingga tak ada lagi panembah kepada Sang Khaliq. Bisa jadi ini merupakan refleksi dari diri kita yang telah kehilangan rasa (ing) pangrasa”nya atau raibnya “hati nurani”, sehingga hukum, kebenaran dan keadilan pun dijadikan komoditas bahkan kini ada ulama atau kyai yang berani mengambil alih domain – NYA dengan fatwa – fatwanya yang membingungkan rakyat akibatnya terjadilah “krisis nurani, krisis mental – spiritual”, dan anarkisme telah menjadi panglima. Maka tidak saja Taufik Ismail yang menyatakan “malu menjadi orang Indonesia dan  WS. Rendra kemudian bilang “jijik menjadi orang Indonesia”, esais Jakob Sumardjo bilang bahwa bangsa ini sedang dilanda neurotic alias sakit jiwa”, hampir semua yang masih tersisa nuraninya merasakan hal yang sama.

Nah waktu, secara filosofis menurut bangsa barat adalah Time is money”, sementara bangsa Nusantara menganggapnya : “Time  waits for no man”, sehingga untuk memberdayakan waktu secara filosofis dalam dunia pewayangan terdapat lakon “Murwa kala”, atau memberdayakan waktu dan dalam ajaran Islam dinyatakan dalam QS : Surat Al – Asr yang artinya : “Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar – benar berada dalam kerugian kecuali orang – orang yan beriman, dan mengerjakan amal kebajikan serta saling menasehati supaya menjalankan kebenaran & supaya tabah dalam menghadapi kesukaran”.
Kemudian apa hubungannya dengan perikehidupan berbangsa & bernegara yang berdasarkan Pancasila itu ?. Sudahkah bangsa ini benar – benar merdeka sebagai suatu bagian dari bangsa dunia ? Lalu PR apa yang harus segera dilakukan dalam rangka memberdayakan Negara Proklamasi ini ?. Apakah ajaran Bung Karno yang ingin menciptakan suatu tatanan dunia baru yang bebas dari penghisapan antar manusia & antar bangsa dengan platform “Marhenisme – Pancasila & Trisakti (berdaulat dibidang politik; Berdikari di bidang ekonomi dan Berkepribadian di bidang kebudayaan) itu masihkah relevan ?. Kita bersyukur karena rezim SBY memiliki motto “Indonesia bisa”, sayangnya banyak kawula yang terlalu kritis bertanya “bisa (nya) apa (saja), bila sekedar menutup semburan lumpur panas saja angkat tangan ?!

A. JANGAN MENINGGALKAN SEJARAH (JASMERAH).

Hari kemarin merupakan suatu pengalaman yang baik sebagai guru” dan hari ini adalah suatu “kenyataan” apapun adanya harus kita syukuri, sedangkan hari esuk adalah sebuah “harapan dan impian”, yang harus kita rajut bersama – sama.
Oleh sebab itu waktu dan sejarah ibarat sekeping mata uang yang tak terpisahkan karena waktu merupakan serpihan – serpihan sejarah sehingga mutlak adanya introspeksi, ekstrospeksi, restrospeksi dan sirkumspeksi.  Maka amanat Bung Karno “Jasmerah” tersebut adalah  benar adanya. Sayang bangsa Indonesia saat ini telah mengkhianati amanat tersebut akibatnya menjadi bangsa yang collapse.
Pada 2009 yang lalu nampaknya merupakan terkuaknya melodrama berbangsa & bernegara ini yang telah mencapai anti klimak tidak saja terjadinya gempa bumi dahsyat di Tasikmalaya dan Sumatera Barat yang segera diikuti oleh ratusan gempa di seluruh Nusantara kecuali Kalimantan. Gempa berdimensi  lain pun tak mau kalah mengerikannya yang saling susul menyusul seperti :
  • Gempa birokasi yakni dengan berebut hegomoni seperti kasus cicak versus buaya dan godzella” yang naifnya justru dipertontonkan oleh aparat penegak hukum antara kepolisian, kejaksaan dan KPK serta advokad yang ditebar dan terperangkap oleh jala – jalanya Om Anggodo Widjaja. Markus – Mafioso Peradilan sebagai pialang komoditas hukum, keadilan & kebenaran itu nyata – nyata ada dan begitu marak di tengah Negara yang berdasarkan hukum. Ibarat bola salju yang kian menggelinding kian besar yang kelaknya akan semakin tertelanjanginya rezim SBY, betapa bobroknya birokrat kita ini.
  • Gempa keadilan dan kebenaran seperti kasus : Prita Mulyasari, Mpok Minah dengan tiga biji kakaonya, penembakan terhadap 20 orang di Palembang yang sedang menuntut haknya dan seribu satu kasus lainnya.
  • Gempa di bidang moneter yang mirib dengan kasus BLBI di zaman Pak Harto, yang popular  disebut dengan Century Gate” pun muncul, sehingga mendorong DPR segera membentuk Panitya Hak Angket”, yang juga telah mengilhami Gorge Junus Aditjondro  guna menyuguhkan bukunya yang cukup controversial berjudul Gurita Cikeas”.
  • Disamping berbagai gempa tersebut telah terjadi pula gempa spiritual dengan maraknya pengangkatan sumpah yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang sejatinya mereduksi kesucian dan kesakralan sumpah itu sendiri, sumpah seolah menjadi barang mainan.
  • Perang bintang (star war) paska Pemilu justru akan terjadi secara massif yang dilakukan para elit penyelenggara Negara yang nota bene di pundaknya terlekat lencana sesuai corp nya masing – masing.
Semua itu belum pari purna, namun tiba – tiba satu hari menjelang pergantian tahun baru  Masehi 2009/2010, bangsa ini dikejutkan dengan wafatnya seorang humoris, yang banyak menyandang stigma sebagai tokoh HAM, seorang kyai, bapak demokrasi, bapak pluralisme, bapak pelindung orang – orang yang terdzolimi,  bapak bangsa, mantan Presiden IV, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang juga dijuluki sebagai Bapak Kontroversial oleh masyarakat yang kurang paham terhadap pribadi Gus Dur,meyusul meninggalnya 100 orang kurban Situgintung,  103 penumpang  korban pesawat Hercules C-130 yang bertepatan dengan HUT Harkitnas ke 101, dan meninggalnya Mbah Surip serta Willy Sulaiman Rendra yang merupakan ikon – ikon Nusantara itu dan korban gempa Tasikmalaya, serta 1.117 orang korban gempa Sumbar. Tokoh gaek tiga zaman Franciskus Xaverius Seda, kelahiran Lekebai, Kabupaten Siska, Flores, yang banyak jasanya terhadap NKRI ini pun di penghujung tahun, 31 Desember 2009 ikut mengakhiri kiprahnya dengan tutup usia di umur 83 tahun.
Apakah semua peristiwa di tahun 2009 yang bagai musaik sendu, itu hanyalah sebuah kebetulan saja, dan tak ada hekekat dibalik itu  ?
B. PERLUNYA GERAKAN MORAL
Menurut kaum spiritualis bahwa tidaklah ada kamus “kebetulankarena semua terjadi atas karsa dan kuasa – NYA. Dan oleh kaum sufistik diyakini bahwa semua kejadian di mayapada ini adalah juga merupakan “ayat – ayat TUHAN atau min aayaatillah”.

Maka dalam pergantian tahun ini akan menjadi bijak dan bajik manakala anak – anak bangsa ini berkenan melakukan introspeksi, ektrospeksi, retrospeksi dan sirkumspeksi, mengapa ultra krisis kemanusiaan & alam dengan berbagai prahara yang tidak saja berupa  bencana alam akan tetapi berbagai bencana lainnya sebagaimana disinggung di atas, lalu mengapa semua itu terjadi & silih berganti menimpa  negeri kita tercinta ini ?.
Bukankah NKRI yang berdasarkan PANCASILA yang senantiasa diperjuangkan tidak saja dengan kesucian hati dan harta serta darah para pendahulu kita bahkan nyawa mereka pun dikorbankannya asalkan bangsa ini dapat dan tetap merdeka “, di tengah bergejolaknya Perang Dunia II. Ibarat Nusantara ini telah dibasuh dan disucikan dengan darah para pejuang, para pahalawan dan para syuhada sehingga Tuhan Seru Sekalian Alam pun telah memberkati dan merahmatinya. Bangsa ini ridho atas anugerahnya dan ALLAH pun ridha atas perjuangan bangsa ini. Nah guna mensyukuri anugerah tersebut bukankah founding fathers pun telah memberikan juklak dengan landasan idiologis, moral dan spiritual serta religius” dengan nama ”PANCASILA” dan “landasan konstitusional” dengan  “UUD 1945” yang di dalamnya mengamanatkan adanya “Perubahan ” sebagaimana tersurat di dalam Bab XVI pasal 37 UUD 1945 ?.
Disamping itu Bung Karno telah pula memberikan wasiat, warisan dan amanah  serta amanatnya kepada kita sekalian : “Kutitipkan bangsa & negara ini kepadamu”. Bagaimana cara melaksanakannya ?, tak lain dengan menghayati ajaran Bung Karno utamanya : Pancasila, Trisakti & Jasmerah“, seperti diamanatkan dalam Supersemar yang misterius itu. pakah kita telah melanggar seruan NYA sebagaimana QS : Al – Anfal (7) ayat 27 : “Dan janganlah kamu mengkhianati amanah – amanah yang dipercayakan kepadamu”.
Tapi peringatan Bung Karno & wasiat serta amanatnya tersebut sama sekali tidak digubris oleh anak – anak bangsanya baik yang berada di gedung DPR/MPR maupun para akademisi dan lain – lain. Mereka merasa begitu piawai sehingga tak menghargai para pendahulunya dan ironisnya mereka menilainya dari masa kekinian terutama para jawara hukum & cendikiawan di antaranya A. Ahsin Thori seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti yang menilai bahwa : ” …..mengingat UUD 1945 naskah aslinya mengidap persoalan sejak kelahirannya sehingga sejak awal tidak dimaksudkan sebagai UUD difinitif”. ….. UUD 1945 naskah asli justru menjadi persolan itu sendiri“. (Kompas, Kamis 3 Juli 2008 hal. 6).
Bila kita menggunakan bahasa Nurani (bukan bahasa hukum), kata : “mengidap & tidak dimaksudkan …” diatas adalah sungguh tak senonoh, cermin pelecehan seorang ilmuwan – akademisi terhadap maha karya founding fathers, sedangkan amanat yang tersirat dalam UUD 1945 itu adalah suatu cermin yang sungguh arif dan bijaksana penuh dengan kerendahan hati yang ingin mewujudkan cita – cita luhur, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara Berketuhanan (bukan agama)”.
Kita lupa bahwa kala itu dalam suasana menjelang akhir perang dunia II. Dimana penjajahan militer Jepang sekalipun Kaisar Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945, namun di lapangan amat berbeda, mereka masih dalam keadaan siap siaga, dengan bayonet terhunus yang tidak segan – segan siap menghabisi para pejuang. Dalam keadaan darurat founding fathers mampu menyelesaikan pembuatan UUD 1945 hanya selama 81 hari itupun banyak hari reses. Mereka berjuang tanpa pamrih pribadi kecuali agar segera dapat memproklamirkan kemerdekaannya, dengan semboyan “merdeka sekarang juga atau tidak sama sekali !, yang agar nantinya dapat diwariskan ke generasi – generasi berikutnya. Bila perlu tidak hanya darah nyawapun mereka korbankan.
Namun seperti itukah penghargaan kita terhadap founding fathers & para :  pejuang, pahlawan dan syuhada ?. Sedangkan  Proklamator & sekaligus Presiden NKRI I, Bung Karno hanya sekedar untuk membangun rumah tempat tinggal, di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru saja harus terpaksa dengan meminjam uang kepada teman – temannya. Bahkan pada akhir kekuasaannya, saat meninggalkan Istana Bogor, sekedar membeli seikat rambutan rabiah kesukaannya pun tak mampu. Dan yang tak kalah mengharukan Proklamator Bung Hatta yang juga sebagai Wakil Presiden R. I, I, hanya sekedar keiinginannya menggunakan sepatu buatan Itali, merk “Bally” sampai akhir hayatnya pun tidak kesampaian. Belum lagi para pejuang, para veteran yang masih tersisa dimana kini telah memasuki usia uzur yang masih luput dari perhatian Pemerintah.
Sudahkah Pancasila dan UUD 1945 itu telah menjadi laku hidup berbangsa & bernegara ?. Bagaimana nurani kita,  bila menyadari bahwa kita belum dapat melaksanakan amanat Pancasila dan UUD 1945 namun justru kita menginkarinya dengan ke empat amandemen yang kebablasan dan sesat jalan itu ?. Dari 199 ketentuan konstitusional yang tercakup dalam UUD 1945 perubahan; di antaranya 174 (87,5%), ketentuan baru dan hanya 25 (12.5%) yang berasal dari UUD 1945 yang dipertahankan. Nah layakkah itu disebut perubahan dan tetap menggunakan label “1945” ?.

Sehingga unsur bangsa hanya cukup diwakili dengan elit partai politik saja, Sila IV telah kita tanggalkan, Negara Kesatuan telah kita nafikan dengan esensi federalime. Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa telah kita jadikan Negara agama dengan qanun dan syareat Islam yang telah digunakan oleh beberapa propinsi, kabupaten dan kota di Nusantara ini ? Dengan otonomi daerah, kedaulatan Negara pun telah kita amputasi. Bagaimana lembaga pemilik sah kedaulatan (MPR) kita kerdilkan ? Faktanya, MPR kini hanya sejajar dengan lembaga – lembaga Negara lainnya, sehingga ada pendapat mengapa tidak dibubarkan saja yang hanya menghabiskan uang rakyat ?. Analoginya seorang tuan tanah  tak lagi berdaulat untuk menyuruh para buruh tani agar menanami sesuai daulat dan keinginan sang pemilik tanah tersebut. Para buruh tani kini bebas merdeka untuk menanami apa saja bahkan rumput pun boleh sesuai dengan kehendak mereka karena telah dilembagakan oleh konspirasi “akal bulus para buruh tani” guna memboikot sang pemilik tanah itu sendiri. Sungguh NKRI ini satu sisi telah dijadikan Amerikanisasi disisi yang lain  di jadikan pula Arabisasi, sementara budaya khas yang merupakan jati diri bangsa telah ditanggalkannya.
Sedangkan Bung Karno jauh hari telah mengamanatkan : “Kutitipkan bangsa & Negara ini kepadamu”!. Mengapa bangsa ini begitu terpikat  dan terpesona dengan demokrasi & HAM ala barat” yang anehnya kita anggap sebagai intan berlian sementara milik kita sendiri yang lebih sempurna yakni “HAM yang harus diimbangi dengan KAM” (Sila II, esensi kemanusiaan, human being saja masih dianggap kurang sempurna demikian pula dengan tambahan kata “yang adil”, karena kata adil begitu sumirnya, ya adil buat siapa?  Maka disempurnakan dengan kata “dan beradab” “Kemausiaan yang adil dan beradab”, yang juga merupakan “measurement tool”, measurement quality dalam berbangsa dan bernegara!.
Dan demokrasi menurut Bung Karno, bukanlah merupakan suatu tujuan melainkan hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rakyat adil – makmur, berdaulat dan bermartabat. Oleh sebab itu demokrasi bukan berarti bebas merdeka sesuka hati,  karena  harus dipertanggung jawabkan kepada “rakyat & terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Justru hal itu  kita anggap sebagai “kreweng”. Bung Karno jauh – jauh hari telah memperingatkan : “A nation in collapse”, satu bangsa yang sedang ambruk, ya krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental. Di kesempatan lain beliau pun menyatakan bahwa : “Kita sekarang kalau tidak awas – awas, menuju kepada anarki total “. (DBR hal.290).

Nampaknya untuk merevitalisasi NKRI tak ada jalan lain kecuali adanya kesadaran bersama dengan gerakan moral, berhijrah diri, bahwa bangsa & Negara ini telah melakukan kesalahan besar dan telah membuat dosa kolektif bangsa. Mengapa ? karena, setidaknya telah mengingkari terhadap tiga hal yakni :
(1).    Mengingkari berkat dan rahmat Tuhan Seru Sekalian Alam dengan telah
dianugerahi – NYA Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. QS : An – Anfal ayat 27 : “Dan janganlah kamu mengkhianati amanah Allah yang dipercayakan kepadamu”. Seiring dengan itu tedapat semboyan “Fox Dei Fox Populi”, suara rakyat adalah suara TUHAN, maka tepatlah pernyataan Bung Karno bahwa beliau hanyalah semata – mata sebagai “Penyambung Lidah Rakyat” saja.
(2).    Bangsa & Negara ini telah pula mengingkari amanat founding fathers yang
tersurat di dalam UUD 1945 terutama pada BAB XVI pasal 37 UUD 945 dan
(3).    Mengingkari amanat dan wasiat Sang Proklamator, Presiden I, Dr. Ir.
Soekarno yakni utamanya tentang : Kutitipkan bangsa & Negara ini kepadamu”; Trisakti  yakni : Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan serta ajaran Bung Karno lainnya sebagaimana diamanatkan di dalam Supersemar .
Bisa jadi kita alpa bahwa Bunda Pertiwi ini adalah menjadi saksi atas niat, sumpah dan janji serta peri laku anak – anak yang ia susuhi dan banggakan itu yang telah dikhianati oleh keturunannya sendiri. Mengapa kita ingkarinya sendiri  akibatnya ia menjadi murka dibuatnya  seperti yang diperingatkan dalam Injil, Ulangan 28 ayat 46 : ”Bencana – bencana itu merupakan bukti dari hukuman TUHAN atas kamu dan keturunanmu untuk selama – lamanya. Ayat 47 : ”Kamu sudah diberkati TUHAN Allahmu dalam segala hal, tetapi tidak mau mengabdi kepada – NYA dengan hati yang ihklas dan gembira”. Ayat 48 : ”Karena itu kamu harus mengabdi kepada musuh – musuh yang dikirim TUHAN untuk melawan kamu. Kamu akan kelaparan, kehausan dan telanjang serta berkekurangan dalam segala hal. TUHAN akan menindas kamu dengan kejam sanpai kamu binasa”.


C. PEMAKZULAN PRESIDEN SBY
Progran 100 hari Presiden SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, nampaknya akan bernasib sama dengan KIB I. Bila lima tahun yang lalu kegagalannya antara lain diakibatkan adanya tsunami di NAD yang diikuti dengan berbagai mega bencana, dalam KIB II ini justru semakin masif karena berbagai gempa berbangsa & bernegara itu pun telah terjadi. Begitu banyak tengara alam yang luput dari pengamatan kita dari lagu kebangsaan Indonesia Raya (dalam kampanye Pilpres putaran terakhir oleh capres SBY, justru menggunakan melodi mirip lagu kebangsaan Amerika Serikat & pada sidang paripurna DPR bahkan tidak dinyanyikan lagi). Bendera Sang Saka Merah Putih (yang dipajang pada gunung sampah dan ramai – ramai ditenggelamkanya di laut Malalayang, Manado) dan robohnya baliho gambar dirinya serta simbul – simbul alegoris negara yang lain hingga stigma sebagai ”bangsa Indon yang berubah menjadi bangsa Indonesialan serta Babindon”, yang dilontarkan oleh blogger Malaysia yang sungguh menyakitkannya itu.
Sungguh miris kini gambar Presiden dan Wakil Presiden diinjak – injak dan dibakar bahkan tuntutan agar SBY turun dan penonaktifan wapres Budiono pun marak. Nampaknya hal tersebut telah disampaikan oleh pujangga terdahulu kita.  Pelantikan SBY/Budiono dalam kalender Saka Jawa jatuh dalam windu ”Kuntara”.
Sang pujangga menyampaikan : ”Kalau ada raja (presiden) yang berkuasa pada windu Kuntara ini, akan panjang umurnya akan tetapi di tengah – tengah kekuasaannya, orang kecil/kawula alit banyak yang berani melawan penguasa (impeachment) dan bakal ada perang besar”.
Sedangkan terjadinya ”gerhana bulan” pada 15 Suro 1943 yang bertepatan dengan pergantian tahun baru Masehi, menurut sang pujangga dinyatakan : ”Akan begitu banyak fitnah dan banyak orang bilahi (meninggal/sengsara/apes), orang – orang kaya akan tertimpa kerusakan, sebaliknya orang – orang papa – nistapa akan waras”.
Sasmita ini diperkuat dengan akan terjadinya gerhana matahari yang akan jatuh pada hari Jumat Pon, 15 Januari 2010” yang dinamakan dengan ”Kankan Krita”.

Terlepas hal tersebut dianggap sebagai ”irafaah”, peramalan dan atau ”kahanah”, pedukunan yang difatwakan haram hukumnya oleh MUI tentunya akan bijak dan bajik agar SBY/Budiono serta para pembantunya senantiasa komit & tak sedetikpun lupa atas janji – janjinya serta berusaha sekuat tenaga untuk merealisirnya baik yang telah diucapkan saat berkampanye maupun paska dilantik, apa lagi dengan pembuatan ”pakta integritas”.
Bila saja itu dapat dipenuhinya maka sudah pasti akan terhindar dari  pemakzulan tersebut. Jadi esensi atau hakekat dari tengara alam itu sendiri yang seyogyanya mampu dimaknai demi meningkatkan keimanan & penghambaan terhadap – NYA, bukan sebaliknya.
Mari kita doakan agar SBY selalu diberi kesehatan dan kemampuan untuk melaksanakan amanat Proklamasi demikian pula kepada para penyelenggara negara yang lain. Dalam situasi yang carut marut – centang perenang dan atau sungsang bawana balik ini tentu cara – cara konvensional tidak akan mampu memperbaikinya kecuali adanya formula revolutif – kebijakan revolusioner bagi pemenuhan Amanat Penderitaan Rakyat atau Sila V, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!, sebagaimana juklaknya telah diamanatkan pada pasal 33.
D. REVITASLISASI NEGARA PROKLAMASI

Bung Karno ternyata tidak saja sebagai Proklamator, Presiden, orator, seniman, pelukis, arsitek, penulis, bapak bangsa, founding fathers, spiritualis, filosuf akan tetapi beliau juga ternyata seorang futurolog. Sebagai bukti, 4 diantara begitu banyak  pernyataannya yang telah menjadi kenyataan dan uniknya Bung Karno pun telah memberikan pedoman untuk keluar dari berbagai ultra krisis namun sayang tak satupun dilaksanakan oleh rezim – rezim berikutnya. Apa saja peringatan Bung Karno tersebut ?, inilah pernyataannya :
  1. Jauh hari Bung Karno telah mengingatkan perkembangan demokrasi yang terjadi saat ini bahwa : ” Nyata kita dengan apa yang kita namakan demokrai itu, tidak menjadi makin kuat dan makin sentausa, melainkan menjadi makin rusak dan makin retak, makin bubrah dan makin bejat“!.
  1. Permintaan perlakuan super istimewa ini jauh hari telah disampaikan   oleh Bung Karno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1957 “Amanat Pancasila”, beliau telah mensinyalir : “…… Aku sentrisme menonjolkan diri di segala lapangan. Dulu jiwa dihikmati oleh tekad ‘aku buat kita semua’, sekarang …’aku buat aku’. Aku buat aku! Aku, Aku, dalam arti perseorangan; aku golongan; aku partai; aku suku; aku daerah; aku ini menonjol – nonjol. Aku ini minta kedudukan, Aku ini minta penghargaan. Aku ini minta sekian kursi dalam parlemen, Aku ini minta pelayanan istimewa, Aku ini minta sebagian besar dari per – uangan Negara, Aku ini minta otonomi , status yang lebih tinggi”.
  1. Barang kali kita makin lama makin jauh ‘opdrift’, makin lama makin klejar – klejor, makin lama makin tanpa arah, bahkan makin lama makin masuk lagi ke dalam lumpurnya muara ‘explotation de l’homme par l’homme’ en ‘exploitation de home par nation’. Dan sejarah akan menulis : “Di sana, antara Benua Asia & Benua Ausralia, antara Lautan Teduh dengan Lautan Indonesia adalah hidup satu bangsa yang mula – mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa, tetapi akhirnya kembali menjadi ‘een natie van koelies, en een kolies onder de naties”. (Pidato Bung Karno “Gesuri”, 17 Agustus 1963).
  1. Telah diingatkan pula oleh Bung Karno, bila kita lalai maka akan mengalami : “A nation in collapse (satu bangsa yang sedang ambruk) dimana krisis menyusul krisis, sehingga akhirnya mungkin nanti menjadilah krisis itu satu krisis total, krisis mental, tandasnya !.
Dengan kenyataan tersebut,  bangsa & negara ini tak lagi dapat menunda – nunda untuk segera melakukan revitalisasi, antara lain :
  • Menggelar ”Tobatan Nasuha Nasional”, yang pernah dicanangkan oleh Pemerintah CQ Menag Maftub Basyuni pada 2 Maret 2007.
  • Sebagaimana budaya kearifan lokal bahwa untuk memperbaiki segala sesuatunya hendaknya diiringi dengan niat & implementasi secara konsisten dan berkesinambungan. Dengan dasar : ”benar (bener), tepat (pener) dan bersih (suci)”. Akan lebih baik bila disertai dengan ritualitas seperti Ruwatan Nasional” yang dilakukan oleh elit penyelenggara negara bukan atas nama pribadi Presiden. Ref. QS : Al Kautsar ayat 2, “Oleh karena itu jadikanlah salatmu itu semata – mata untuk TUHAN – mu, dan berkorbanlah dengan cara yang sama.
  • Segera menyatakan DEKRITt untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 pra – amandemen sambil menyempurnakan dan atau mempertegas “penjelasannya pasal 7” yang dianggapnya bias dan multi tafsir itu. Dengan memberikan jeda dan tenggang waktu hingga 20014, guna remedialisasi atas carut marut berbangsa & bernegara ini.
  • Menindak tegas bagi orang – orang yang ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara itu karena itu sejatinya perbuatan makar!
  • Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia yang telah tercemar itu seyogyanya MPR dan DPR serta Pemerintah mengadakan persetujuannya agar nama ”INDONESIA” segera diganti dengan nama ”NUSANTARA”, sebagaimana dilakukan juga oleh banyak negara.
  • Segera mengagendakan perelokasian Ibu Kota Negara ke suatu tempat yang ideal dan selaras apakah ke daerah Dulangmas”, Kedu – Megelang & Banyumas, atau ke Kalimantan Tengah yang relatif aman atas ancaman gempa bumi itu. Mengingat Jakarta tak lagi mampu menanggung beban ganda sebagai ibu kota negara dan kota gapura niaga sementara banjir, pencemaran lingkungan, kemacetan arus lalu lintas dan tak memungkinkannya perluasan jalan, bahkan termasuk busway dan proyek monorail yang terbengkelai itu;  prasarana dan sarana akan stag, sementara pertambahan kendaraan bermotor mengikuti deret ukur. Maka bila lalai kita tinggal menunggu meledaknya bom waktu saja.
  • Pemerintah & segenap anak bangsa mutlak untuk mempertahankan  adanya : Pancasila, Bhinneka tunggal ika (pluralisme, keberagaman, e pluribus unum, unitas in plurifate) dan Negara Kesatuan.
  • Pemerintah harus berani dan tegas menyatakan tidak akan  membayar cicilan hutang kepada IMF dengan alasan dan pertimbangan IMF melakukan one prestasi yakni nasehat yang diberikan memiliki tujuan terselubung untuk membangkrutkan bangsa & negara ini sesuai pengakuan konsultan Pemerintah, John Perkins sendiri, sebagaimana pula bukunya berjudul ”Confessions of Economic Hit Man”. Mengapa kita begitu patuh walau dipecundanginya ? Ironis bangsaku. Uang cicilan hutang yang dianggarkan sebesar Rp 87 triliun/tahun segera dapat untuk mensejahterakan dan menyehatkan serta mencerdaskan bangsanya  melalui berbagai pengembangan iptek.
  • Sudahilah kebiasaan berhutang karena akan menjerat leher rakyat Nusantara sendiri. Mari kita tautkan pada Injil, Ulangan 28 ayat 44 : “Mereka punya uang untuk dipinjamkan kepadamu, tetapi kamu tidak punya apa – apa untuk dipinjamkan kepada mereka. Dan akhirnya kamu dikuasai mereka !
  • Berbagai perusahaan transnasional seperti Free Port, Exxon Mobile dll. seharusnya segera dinasionalisasikan karena kontrak yang disepakati bersama oleh rezim Soeharto dan yang kemudian diperbaharui dengan memperpanjangnya itu melawan/bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 (penjelasan). Mengapa Bolevia dan Venezuela negara kecil di belahan Amerika Latin bisa menasionalisasi perusahaan transnasional, seperti Repsol YPF (Spanyol), Petrobas (Brazil), Total (Perancis), Exxon (Amerika Serikat), dan Royal Dutch (Belanda) menjadi contoh penerapan kebijakan pemimpin negara yang memihak kepentingan rakyatnya (neososialisme). Hebatnya para pemimpin tersebut menasionalisasi tanpa melalui negoisasi. Tatapi tetap menang ! Mengapa kita yang punya UUD 1945 dan motto “Indonesia Bisa”, tak ada nyali untuk menegakkan kebenaran dan memenuhi Sila V? Bila Bung Karno gara – gara PBB sebagai kepanjangan tangan Negara adi daya dan tidak menggubris protes Indonesia bahkan Malaysia justru dijadikan anggota tidak tetap DK PBB sehingga Bung Karno menyatakan keluar dari PBB pada 5 Januari 1965, sehingga membuat Sekjen PBB U Thanh menangis bersedu sedan, mestinya yang menyangkut nasib hajat hidup orang banyak bangsa ini, kita harus lebih berani dibandingkan tindakan Bung Karno tersebut. Sementara kita yang punya motto ”INDONESIA BISA” tersebut, tidak bisa ? Sedangkan kita memiliki dasar hukum yang  sangat kuat ?. Rencana Freeport, penempatan aparat keamanan di Timika oleh orang – orang  AS sendiri, menggantikan aparat kepolisian  harus ditolak bila kita tidak ingin kehilangan bumi Cenderawasih yang begitu subur makmur itu.
  • Pengiriman TKW harus segera  (tetap) diberhentikan dan memulangkan mereka dari luar negeri, karena ekspor TKW tersebut sejatinya melanggengkan perbudakan modern, tak ubahnya kita kembali ke jaman Jahiliah.  Kita hanya boleh mengirimkan tenaga skillfully, tenaga expert, tenaga ahli sehingga menjadi bangsa yang berbudaya & bermartabat.
  • Pemerintah dan atau Mahkamah Konstitusi seharusnya membatalkan BHP Perguruan tinggi, karena pendidikan itu guna membentuk insan cerdas yang berkarakter atau yang berkepribadian  bukanlah sekedar berorientasi kepada pasar tenaga kerja. Karena fitrah manusia bukan sekedar pasar akan tetapi pencipta pasar itu sendiri. Dan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi itu harus digratiskan karena merupakan skil invesment” guna mengolah berbagai sumber daya yang ada.
  • Pemerintah syogyanya menarik pulang oarang – orang super cerdas yang ditugas belajarkan di era Bung Karno yang gara – gara gejolak politik mereka dilarang pulang atau di era Orba dan Orref yang tidak diberinya kesempatan. Mereka harus diberikan fasilitas lebih dan memberikan kewarganegaraan Indonesia kembali agar mereka mau dan mampu melakukan karya – karya inovatif yang mampu memberdayakan berbagai potensi yang ada. Kita hendaknya meniru Singapura yang giat berburu pemuda – pemuda genius untuk dididik yang nota bene akan ditugasi dalam bidang hitech dan R & D demi kejayaan negaranya. Dan bila banyak pemuda Indonesia yang tergiur itu bukan salah mereka melainkan kesalahan Pemerintah sendiri yang kurang menghargai potensi mereka.
  • Bung Karno mengamanatkan agar “wise in judgement, original in thought, resolute in action” yakni bijaksana dalam menimbang, orisinil dalam pikiran, tegas & tangkas dalam tindakan.
  • Perlunya Gerakan Hidup Baru yang digagas Bung Karno tersebut bertujuan melaksanakan revolusi mental sebagai persiapan membangun masyarakat yang dicita – citakan oleh Proklamas 17 Agustus 1945. Gerakan Hidup Baru berisi revolusi mental yaitu : (1). Perombakan cara berfikir, cara kerja, cara hidup yang merintangi kemajuan. (2). Peningkatan & pembangunan cara berfikir, cara kerja dan cara hidup yang baik.
  • Menjadikan candi Borobudur dan candi Prambanan sebagai pusat  ritualitas dunia bagi  penganut agama Buddha dan Hindu dengan pemberian sebutan Khi dan pemberian nama Nusantara dengan pakaian kebesaran khas Nusantara sehingga akan memajukan home industri apakah itu surjan, bescap, blangkon, jarit, sarung, slop, dan segala asesoriesnya termasuk keris dan lain sebagainya. Dilanjutkan dengan ziarah wisata ke kawasan ’Nucleus Nusantara” seperti ke berbagai objek ziarah wisata seperti Sangiran, Trowulan, Blitar, Penangungan, Gunung Arjuno, Mahameru dan lain sebagainya. Dengan demikian Depbudpar tidak sempoyongan menargetkan jumlah kunjungan wisatawan manca negara.  Hal ini tidaklah sulit bila ada goodwil dari Pemerintah yang harus melobi kepada negara – negara yang penduduknya mayoritas beragama Budha dan atau Hindu tesebut. Apa lagi bila Pemerintah berhasil meyakinkan dan mengemas adanya temuan bahwa Nusantara ini adalah merupakan reinkarnasi dari Benua Altantis yang hilang itu. Jangan sampai terulang kembali bahwa gara – gara keyakinannya lain atau berbeda kemudian dengan enaknya merusak bahkan membom stupa – stupa candi  Borobudhur seperti terjadi di tahun 1983. Mari kita tautkan pada Injil,
  • Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, seyogyanya diberdayakan   dan disempurnakan dimana kata “agama” diganti    dengan “Berketuhanan”. Sehingga menjadiForum Kerukunan Antar Umat Berketuhanan”, agar semua unsur suku bangsa terwakili di dalamnya. Bukankah Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa? Mengapa bangsa ini tidak konsisten ?.
Suatu Fakta Kekerdilan Nurani ”Candhi Borobudur” yang merupakan maha karya leluhur kita sendiri dihancurkannya dengan bom. Kita tak sadar bahwa untuk membuat satu relief pun kita belum tentu bisa!

Note : Gambar Candi Borobudur yang tidak salah apa – apa oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab dihancurkannya dengan bom pada tahun 80an yang hingga kini pelakunya masih tak terendus. Betapa pongahnya kita untuk memahat satu patung saja belum tentu bias namun ego jahiliah kita jutru membara. Setiap sesuatu yang tidak seirama dengan keyakinannya maka halal untuk dimusnahkannya!

  • Setelah Indonesia mampu mengembalikan kekayaan alam Nusantara, saatnyalah bahan uang rupiah tidak lagi menggunakan kertas melainkan menggunakan bahan emas dan atau logam lainnya sehingga selamanya tak akan terjadi devaluasi dan akan menjadi hardest currancy sehingga kita tidak dipermainkan oleh negara maju baik MEE maupun USA.
  • Senyampang RUU DIJ belum diselesaikannya alangkah bijak dan bajik bila mengakomodir adanya rencana bapak – bapak bangsa yang ingin mendirikan suatu kawasan ”Meda mahnit” yang berwilayahkan Bumi Mentaokbukan Alas Mentaok atau bekas wilayah kerajaan Mataram, karena wilayah tersebut merupakan nucleus – inti sel Nusantara. Bila nucleus itu rusak maka rusak pulalah seluruh Nusantara itu, yang hingga kini tak ada lagi yang ingin melaksanakan niat dan rencana tersebut. (Peta buatan Belanda terlampir).
Penyaji menyadari bahwa apa yang tertuang tersebut di atas ibarat suatu perbuatan yang melawan arus, namun tetap dilakukannya semata – mata untuk menyuarakan jeritan rakyat ini dan kecintaannya kepada Persada Nusantara ini dan guna untuk menyikapi amanat Al – Asr tsb. di atas maka sungguhpun demikian pahit  harus disampaikannya bukankah PM. Gajah Mada pernah berwasiat : ”Katakanlah benar yang sebenarnya sebaliknya katakanlah salah yang sebenarnya”.
Kiranya hanya dengan cara – cara luar biasa tersebut NKRI ini dapat memperoleh kejayaannya kembali dan sebagaimana adi kodratinya NKRI ini hanya dapat ditata laksanakan dengan landasan ”Philosophie, religie & watenschap”. Modal bagi bangsa Nusantara ini melimpah ruah tidak saja sumber daya alam, akan tetapi sumber daya spiritual, sumber daya budaya, sumber daya sosial yang merupakan hasil dari kemenangan pergulatan atas ”the right of self determination”, karena betapa hebatnya  Lie Kwan Yew yang menjadikan PM. Singapura adalah Inggris demikian pula sehebat – hebatnya Jawaharlal Nehru yang menjadikan PM. India adalah Inggris namun sebaliknya  sejelek – jelek Indonesia yang menjadikan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden adalah bangsanya sendiri bukan oleh Kaisar Hirohito maupun Ratu Belanda.
Bisa jadi semburan Lumpur Panas “LAPINDO”, 29 Mei 2006, dua hari setelah peristiwa maha dahsyat gempa bumi Jogyakarta & Jawa Tengah yang telah mengirimkan pertanda hakekat dari nama tersebut yakni  memiliki makna “Laku lampah bangsa Indonesia ini telah penuh dengan Lumpur dosa”. Sehingga sebagai simbulnya tidak saja (pesawat) Garuda & (Hotel) Indonesia terbakar sampai (kapal) Levina (Live in Ina – Indonesia) juga dibakar dan ditenggelamkan oleh alam. Yang masih terulang pada peristiwa (Universitas) Nasional yang klimaknya pada peristiwa (Monumen) Nasional yang ironisnya terjadi seiring peringatan hari Lahirnya Pancasila!

Peta Kawasan Bhumi Mentaok
Sebagai Nucleus – Inti Sel Nusantara.



Carut marut berbangsa & bernegara ini seharusnya tidak perlu terjadi bila kita menghayati & memiliki satu bangsa (satu jiwa – satu karakter) untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat yang telah disampaikan oleh para pendahulu kita. Salah satunya kita simak pernyataan Bung Karno ini
: “Aku ingat kepada kaum Kristen, kaum Kristen bukan satu bukan tiga bukan seratus bukan dua ratus, ribuan kaum Kristen mati gugur di dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan ini. Apakah yang menjadi harapan kaum Kristen itu, Saudara – Saudara, yang kita pantas juga menghargai pengorbanan mereka ?. Harapan mereka ialah bahwa mereka bisa bersama – sama dengan kita semuanya menjadi anggota kesatuan bangsa Indonesia yang merdeka. Jangan pakai istilah minoroteit, jangan !(Kuliah Umum di UI, 7 Mei 1953 “Negara Nasional & Cita – Cita Islam”).
Nyatanya kita sebagai bangsa besar kini telah dirapuhkannya sendiri dengan ego primordialisme baik alasan agama maupun ras – suku dan antar golongan. Quovadis! Mau dibawa kemana Indonesiaku ?.

Oleh sebab itu dengan mengambil kebijakan yang revolusioner tersebut , semoga saja crusifix (tanda salib) yang bertuliskan ”INRI”, Jesus Nasarenus Rex Induesorum dapat berarti ”Indonesia Negara Rahmad Ilahi”, yakni tercapinya INDONESIA menjadi Mercusuar Dunia. Amien.

No comments:

Post a Comment