Friday, 22 February 2013

Meretas Pendidikan Demokratis



Meretas Pendidikan Demokratis : Kampusku[1], apakah engkau menerapkan sistem belajar demokratis?

oleh : 
Hambali Tamher
Bagian I

Pendidikan demokratis, dua kata ini rasanya sering kita dengar dimana-mana. Bahkan sebagian orang meyakini bahwa pendidikan demokratis adalah jawaban untuk segala bentuk kemunduran yang terjadi di bangsa ini. Indicator yang paling primer untuk menjawab kemunduran bangsa, sudah tentu adalah pendidikan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan seperti apa? Kalaupun pendidikan demokratis, apakah pendidikan kita sudah mengarah pada pendidikan demokratis? Ataukah malah sebaliknya, pendidikan kita justru semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi?

Sebelum kita melangkah masuk pada pembahasan pokok kita tentang pendidikan demokratis, ada baiknya kiranya kita menngetahui dan selanjutnya memahami apa itu demokrasi, demokratis, dan pendidikan.

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani : δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).[2]

Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.[3]

Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang di terima dan di pakai oleh seluruh Negara di dunia.[4] Cirri-ciri dari pemerintahan yang demokratis adalah :

1.Adanya keterlibatan warga Negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

2.Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).

3.Adanya persamaan hak bagi seluruh warga Negara dalam segala bidang.

4.Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.

5.Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga Negara.

6.Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

7.Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

8.Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil, dan menentukan (memilih) pemimpin Negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

9.Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragaman (suku, agama, golongan, dan sebagainya).


Pendidikan, kata education yang kemudian kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan pendidikan, merupakan kata benda dari kata kerja dalam bahasa Latin educare. Secara etimologis, kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda yaitu educare dan educere.[5]

Kata educare dalam bahasa Latin memiliki konotasi melatih atau menjinakan (seperti dalam konteks manusia melatih hewan-hewan yang liar menjadi semakin jinak sehingga bisa diternakkan), menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan banyak buah berlimpah karena tanahnya telah digarap dan diolah).[6] Jadi, pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri dan orang lain.

Kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (yang artinya keluar dari) dan kata kerja ducere (memimpin). Oleh karena itu, educere bisa berarti suatu kegiatan untuk menarik keluar atau membawa keluar. Dalam arti ini, pendidikan bisa berarti sebuah proses pembimbingan dimana terdapat dua relasi yang sifatnya vertical, antara mereka yang memimpin dan mereka yang dipimpin. [7]

Mengutip Niccolo Machiavelli dalam Dell’Ambizione, “Pendidikan dapat melengkapi ketidaksempurnaan dalam kodrat alamiah kita.” Pada hakekatnya manusia terlahir dengan kecakapan dan intelejensi, tetapi kecakapan dan intelejensi itu tidak serta-merta langsung dapat digunakan dalam keseharian karena membutuhkan proses perubahan, dan itu membutuhkan yang namanya pendidikan. Pendidikan pun berlangsung tidak harus di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan. Seorang supir angkutan umum pada awalnya ketika ia diberi surat izin mengemudi dari pemerintah ia harus memenuhi prosedur yakni memahami tata tertib dalam berkendara dan yang terpenting adalah ia harus bisa mengendara. Tetapi kemudian tidak dapat di pastikan bahwa si supir itu dengan prosedur yang sudah ia lewati pada masa tes untuk mendapat surat izin mengemudi dapat menerapkan hal-hal procedural itu ketika ia mengendara, ia membutuhkan pendidikan untuk dapat menerapkan segala prosedur mengendara yang ia dapati tadi itu, bukan berarti ia harus sekolah mengendara, ia cukup mengendara dan ia akan memahami semua prosedur yang seharusnya di pahami oleh setiap pengendara yakni rambu-rambu lalulintas itu. Ia akan belajar dari pengendara lain yang ada di jalan, dari petugas kepolisian yang berjaga di jalan, dari pera pejalan kakai dan para pengguna jalan lainnya. Hal itu dapat di sebut sebagai pendidikan demokratis, karena si supir dapat mengaktualisasikan diri dengan apa yang ia tekuni (sebagai pengemudi), apa yang ia pelajari (mengemudi yang baik) dan siapa yang mengajari (rambu lalulintas, pengendara lain, petugas yang sedang bertugas, pejalan kaki, pengguna jalan).

Bagian II

Saat ini apakah institusi pendidikan khususnya pendidikan tinggi benar-benar menerapkan model pendidikan demokratis? Nampaknya pertanyaan ini di pertegas kembali dari pertanyaan-pertanyaan yang sama di atas. Pertanyaan yang sama pun pernah saya, hadirkan ketika berdiskusi dengan beberapa perwakilan dari elemen-elemen mahasiswa dan organisasi mahasiswa intra kampus (Unit Kegiatan Mahasiswa/UKM) STMIK Amikom Yogyakarta, mereka nampak canggung untuk mengatakan bahwa pendidikan kita memang benar-benar demokratis, kemudian saya kembali bertanya apa indikator-indikatornya? Secara seragam mereka mengatakan bahwa “kita memiliki instrument-instrumen demokratis, seperti ; DLM (dialog lembaga mahasiswa), dialog himpunan, dan kebebasan beraspirasi. Dari sector outputnya, kita punya para wirausawan muda.” Tetapi kemudian, hal ini bagi saya tidak substantif, karena pendidikan di jadikan sebagai ajang pamer kesuksesan, kesuksesan dalam arti bahwa mereka yang sudah cukup terdidik di STMIK Amikom Yogyakarta sudah mampu berwirausaha, kemudian bekerja dengan perusahaan-perusahaan dan memiliki upah yang cukup, memiliki perangkat elektronik yang tidak ketinggalan, kendaraan mewah, dan lain-lain seperti yang di doktrinasikan oleh para pengajarnya itu, itulah kemudian yang secara tegas di sebut sukses oleh umumnya civitas akademik STMIK Amikom Yogyakarta. Sungguh ironi sekali, jika kita melihat impian Ki Hadjar Dewantara dengan konsep pendidikan taman siswanya, kemudian Ahmad Dahlan dengan konsep pendidikan Muhammadiyahnya, Paulo Freire dengan pendidikan pembebasannya.

Dalam Perguruan Taman Siswa KHD mengupayakan agar anak-anak rakyat dididik mempunyai watak kepemimpinan dan berpengetahuan luas guna mengembangkan kebudayaan nasional.[8] Konsep Taman Siswa secara substansial mengarahkan pada pola hubungan antar manusia dimana manusia saling memanusiakan manusia secara manusiawi. Dari sini kemudian diterapkan tiga hal penting sebagai mana di katakana oleh Benjamin Bloom, “Taksonomi Pendidikan;” membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), melatih keterampilan (psychomotoric/conative domain).[9] Hal inilah yang kemudian saya rasakan benar-benar hampir hilang dalam sistem pendidikan sekarang termasuk di STMIK Amikom Yogyakarta.

Hasil pengamatan selama dua tahun yang saya lakukan sejak tahun 2010-2012, memerikan hasil bahwa, para mahasiswa dan mahasiswi di lingkungan STMIK Amikom Yogyakarta mulai hilang sifat-sifat sosialisasi terhadap masyarakat, rasa nasionalisme yang mulai luntur, dan kreatifitas yang hampir-hampir hilang secara mutlak. Tiga hal ini yang menjadi ketakutan kita bersama. Petama, keengganan untuk bersosialisasi kepada masyarakat dan sesama civitas akademik, akan membentuk pribadi yang apatis akan kondisi lingkungan sekitarnya. Kedua, nasionalisme yang terus terkikis oleh karena diktrin lingkungan kampus yang memaksa para mahasiswa dan mahasiswi yang terus menerus menghamba pada teknologi, teknologi sudah tidak di jadikan alat bantu tetapi di puja selayaknya orang beragama. Ada perasaan sedih ketika melihat jeritan rakyat yang terhimpit karena persoalan bahan pokok dalam kehidupan sehari-hari yang di atur secara serampangan oleh pemerintah, hal ini hanya menjadi hal biasa-biasa saja bagi mahasiswa mahasiswi STMIK Amikom Yogyakarta. Bahkan ada yang mengatakan bahwa “mereka yang mengemis karena mereka enggan untuk bekerja” sementara lapangan pekerjaan sangat minim dan pendidikan bagitu mahal harganya. Dari sini dituntut nasionalisme kita sebagai anak bangsa yang berbakti kepada bangsa dan Negara tercinta ini. Ketiga, bentuk-bentuk kreatifitas menjadi terkotak-kotak karena di batasi oleh disiplin ilmu. Saya sendiri merasakan hal tersebut, ada satu cerita, suatu ketika saya menceritakan kegiatan saya yang terlibat dalam organisasi social kemasyarakatan yang bergerak di bidang perdamaian kepada beberapa teman sekelas tentang konflik SARA di timur Indonesia sekitar satu decade yang lalu. Saya menceritakannya lengkap dengan kondisi serta dalang, dampak social, ekonomi, dan hubungannya secara politik dengan masa orba, mereka kemudian menjustifikasi bahwa saya salah jurusan dan mereka menyarankan agar saya pindah ke jurusan ilmu sosial, padahal ini adalah bentuk-bentuk kreatifitas di pengetahuan social. Sebegitu terbelenggunya kita (mahasiswa-mahasiswi) STMIK Amikom Yogyakarta sampai-sampai kita sudah tidak ingin mengetahui kondisi bangsa ini? Apakah ini di bentuk oleh sistem pendidikan kita?

Jika sistem pendidikan kita sepenuhnya menganut undang-undang pendidikan, maka yang kita terapkan adalah seperti ini, dan sistem pendidikan sebagaimana di atur dalam beberapa poin dalam undang-undang pendidikan itu mutlak di copy-paste dari banking consep atau sistem pendidikan mainstream Eropa yang hingga kini masih terus di terapkan di Indonesia. Lihat saja bagaimana sistem pendidikan masa kolonial Belanda, dimana koloni mengarahkan agar kita menjadi pekerja yang di upah murah, dan menjual tenaganya kepada koloni yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Sistem seperti inilah yang kembali diterapkan oleh STMIK Amikom Yogyakarta, hal ini bisa kita telusuri bersama diamana ada kerjasama-kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang kemudian menampung para calon tenaga kerja dari lembaga pendidikan tersebut. Beberapa minggu yang lalu saya pernah mendengar dari seorang pengajar ketika menikuti kuliahnya, dia mengatakan bahwa perusahaan perfilman di Malaisiya sedang membutuhkan ahli animator yang biasa di ambil dari STMIK Amikom Yogyakarta, upahnya berkisar antara enam sampai delapan juta rupiah. Sementara di sisi lain para pendiri bangsa menginginkan agar anak bengsa mengelola bumi-nya sendiri. Rasa-rasanya kita semakin jauh dengan amanat konstitusi kita yang di amanatkan kepada kita oleh para pendiri bangsa itu.

Dalam pasal 33 UUD 1945 itulah yang seharusnya menjadi acuan sistem pendidikan nasional, agar “bumi air dan segala yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara [dan rakyat akan menjadi tuan rumah] untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” itulah cita-cita kita bersama sejak turun temurun.

Bagian III

- http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

- St Sularto, "Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 tahun Jakob Oetama", Penerbit Buku Kompas, 2001.

- "Pendidikan Kewarganegaraan", Yudhistira Ghalia Indonesia.

- Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

- Saksono, Ign. Gatut, “Pendidikan Yang memerdekakan siswa.” Yogyakarta, Rumah Belajar Yabinkas, 2008.

- Topatimasang, Roem. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.


----------------------------------------------------

[1] Sejak tahun akademik 2009/2010 (antara pertengahan dan akhir tahun) saya tercatat sebagai mahasiswa pada STMIK Amikom Yogyakarta.

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[3] St Sularto, "Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 tahun Jakob Oetama", Penerbit Buku Kompas, 2001.

[4] "Pendidikan Kewarganegaraan", Yudhistira Ghalia Indonesia.

[5] Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

[6] Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

[7] Koesoema A., Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

[8] Saksono, Ign. Gatut, “Pendidikan Yang memerdekakan siswa.” Yogyakarta, Rumah Belajar Yabinkas, 2008.

[9] Topatimasang, Roem. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.