Saturday, 15 December 2012

Mengembalikan Pangan Lokal Dalam Arus Utama


Mengembalikan Pangan Lokal Dalam Arus Utama

Menyebut “pangan lokal”, masyarakat akan lebih akrab dengan dua kata ini, yang identik dengan pangan masyarakat miskin. Artinya, mereka yang mengonsumsi pangan lokal adalah mereka yang tak mampu membeli beras untuk makanan pokoknya dan akhirnya mengonsumsi pangan lokal, semisal, ubi sebagai pengganti makanan pokoknya atau pangan utamanya. Ini bermula ketika beras mengalahkan semua jenis pangan lokal yang ada. Terdapat usaha monolitik dari pemerintah yang kemudian meniadakan keberagaman dalam jenis pangan menjadi satu, yakni beras. Bayangkan, masyarakat Maluku dan Papua yang terbiasa mengonsumsi umbi-umbian dan sagu harus beralih secara total untuk mengonsumsi beras, sedangkan NTT, Madura dan Jawa bagian Selatan mengonsumsi jagung dan ketela kemudian terintroduksi beras sebagai makanan pokok (Masyhuri, 2008). Padahal dibalik pangan yang mereka konsumsi ini terdapat tatanan tradisional yang sudah ada dan terpelihara sejak dahulu dan ini terancam putus akibat usaha monolitik pemerintah dalam hal tersebut.

Sembilan bahan pokok (sembako) dengan tegas mengesampingkan pangan lokal, dengan lebih mengarahkan pola komsumsi masyarakat pada 'mode konsumsi instan' atau tidak berbelit-belit seperti halnya jenis pangan lokal dengan variasi produk olahannya yang dianggap terlalu rumit pengolahannya.
Oleh karena terlalu berbelit-belit, masyarakat cenderung untuk tidak mengonsumsi pangan lokal dan beralih ke pangan yang sudah umum seperti, beras.

Dari hasil Mapping Pola Konsumsi Dan Kesadaran Pangan Lokal Masyarakat Urban[1] menunjukan bahwa masyarakat urban Yogyakarta tidak atau belum mengenal pangan lokal, atau menganggap pangan lokal tidak populer atau kurang populer dibanding dengan jenis pangan mainstream (utama) seperti halnya beras, gandum, jagung, dan sebagainya. Jenis Pangan lokal yang dimaksud disini antara lain adalah :

  1. Ketela Pohon
  2. Talas
  3. Ganyong
  4. Kimpul
  5. Garut, dan
  6. Ubi

Ketidakpopuleran atas pangan lokal ini yang kemudian mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat atas pangan lokal tersebut. Ketidakpopuleran mencakup jenis, kandungan gizi, produk olahan dan nilai ekonomis. Terkait dengan ketidakpopuleran pangan lokal ini, dapat dilihat pada data pengetahuan pangan lokal responden berdasarkan usia :
Usia
Sangat Mengetahui
Cukup Mengetahui
Mengetahui
Kurang Mengetahui
Sangat tidak mengetahui
Pelajar-Mahasiswa (15-25 Tahun)
4%
24%
39%
32%
1%
Pekerja-Pegawai (26-35 Tahun)
3%
20%
52%
19%
6%
Mapan-Berkeluarga (35 Ke Atas)
7%
15%
59%
18%
1%

  -Pengetahuan Produk Pangan Lokal-
Dari data mapping pola konsumsi & kesadaran pangan lokal masyarakat urban dengan tiga ratus responden pada wilayah urban Yogyakarta yang telah ditentukan, memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi responden terhadap pangan lokal masih sangat rendah & dan cenderung mengonsumsi jenis yang cukup familiar menurutnya. Dengan prosentase tingkat konsumsi sebagai berikut : ketelah pohon(81,7%); ubi(81,0%); talas(39,3%); kimpul(32,0%); ganyong(22,7%); garut(21,0%). 


Kemudian alasan responden untuk mengonsumsi pangan lokal hampir secara keseluruhan mengonsumsi karena kebetulan tersedia (48,3%), dan pada saat 'kebetulan' itu dianggap instan sehingga dapat dikonsumsi dengan mudah. Alasan selanjutnya adalah enak(33%), murah(12%), mudah didapat/ditanam(12%), bergizi(4,7%), bentuknya menarik(2%).

Pangan lokal menurut responden yang kemudian menempatkannya sebagai makanan pokok (2,33%), sedangkan makanan pendamping (24,00%), dan sebagian besar responden memposisikan pangan lokal sebagai jajanan/camilan(73,67%).

Sangat berbeda ketika kita bandingkan dengan Desa Cirendeu yang terletak di Cimahi Selatan, Provinsi Jawa Barat. Warga di Desa ini sangat berdaulat atas pangan yang mereka kelola sendiri secara mandiri sehingga dapat menghasilkan produk-produk olahan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup. Jenis pangan mereka adalah singkong & umbi, umbi di olah menjadi aci, kemudian singkong di olah untuk konsumsi rumah tangga dan produk-produk olahan[2].
 
Ada yang menarik dari Desa ini, yakni; pepatah tradisional masyarakat Cirendeu :
Teu boga sawah asal boga pare (biar tak punya sawah asal punya padi)
Teu pare asal boga beas (biar tak punya padi asal punya beras)
Teu boga beas asal nyangu (biar tak punya beras asal nanak nasi)
Teu nyangu asal dahar (tak nanak nasi asal makan)
Teu dahar asal kuat  (tak makan asal kuat)

Pengertian dari pepatah ini yakni, padi atau beras bukanlah satu-satunya jenis pangan yang harus dikonsumsi oleh masyarakat, masih banyak jenis pangan lain yang dapat konsumsi asalkan sungguh-sungguh untuk memulainya.

Warga Cirendeu sudah mulai menggagas kedaulatan pangan mereka sejak tahun 1918, melaui pendahulu mereka yang kemudian baru mulai dikonsumsi setelah 6 tahun berikut atau 1924 setelah melaui transisi untuk adaptasi masyarakat[3].


Cirendeu jelas belum terkena dampak urbanisasi seperti wilayah Babarsari yang menjadi wilayah periphery atas guideline mapping yang kemudian diasumsikan bahwa perkembangan urbanisasi di Yogyakarta berada pada – salah satunya wilayah Babarsari itu.

Dalam rangka membuka seluas-luasnya informasi dan pengetahuan akan pangan lokal agar masyarakat Yogyakarta mengetahui secara tepat jenis pangan lokal, kandungan gizi, produk-produk olahan, serta nilai ekonomisnya, hal kemudian ditindaklanjuti oleh CEES, Tifa Foundation dan IMPULSE untuk meminimalisir rendahnya tingkat konsumsi pangan lokal masyarakat melalui rangkaian-rangkaian kegiatan yang diselenggarakan dengan substansi yakni meningkatkan pengetahuan serta informasi akan pangan lokal terhadap masyarakat Yogyakarta. 


Permasalahan
Kegiatan CEES-Tifa
Tingkat Konsumsi Pangan Lokal
Sosialisasi Produk Pangan Pada Acara Publik
Kualitas Produk Olahan Pangan Lokal
- Pendampingan Produsen Pangan Lokal
- Lomba Inovasi Pangan Lokal Menu Populer
Pengetahuan & Intensitas Terhadap Pangan Lokal
- Inisiasi Pangan Lokal Sekolah-sekolah
- Workshop & Diskusi Publik Pewacanaan Pangan Lokal
- Perkelasan Kedaulatan Pangan
Peredaran Pangan Lokal & Akses Informasi
- Pembuatan Direktori Pangan Lokal
- Pembuatan Modul Pangan Lokal Untuk Sekolah
-Penyelenggaraan Kegiatan Berdasarkan Jenis Permasalahan-
Dari data diatas ter-representasikan bagaimana laju urbanisasi yang tidak dikawal dengan baik akan mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar, dan berdampak langsung terhadap pangan lokal yang semakin terpinggirkan disebabkan karena paradigma masyarakat urban yang serba instan, terkontaminasi dari media-media yang tidak bertanggungjawab yang secara terus-menerus memompa pola pikir masyarakat agar maninggalkan 'hari kemarinnya'.  
Dengan adanya program “mencapai kedaulatan pangan melalui pemberdayaan masyarakat urban” ini diharapkan akan dapat menunjang dan mendongkrak posisi pangan lokal yang menurun drastis tingkat konsumsinya dalam masyarakat urban untuk kemudian berbalik arah dan segera menempati posisi yang layak dalam masyarakat urban kita. Hal ini dibutuhkan kerjasama antar berbagai pihak untuk mendukung diversifikasi pangan itu. 

Yogyakarta, 4 November 2012
  
Hambali Tamher        


[1]              Center of Extension and Empowerment Studies(CEES) & Tifa Foundation, 2012. Mencapai Kedaulatan Pangan Lokal Melalui Pemberdayaan Masyarakat Urban : Mapping Pola Konsumsi & Kesadaran Pangan Lokal Masyarakat Urban.

[2]              Lihat : http://fotokita.net/blog/2008/10/belajar-ketahana-pangan-dari-desa-cirendeu-cimahi-jabar/

[3]              Lihat : http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/06/02/12776/157/Pangan-untuk-Rakyat