Mengembalikan Pangan Lokal
Dalam Arus Utama
Menyebut “pangan lokal”,
masyarakat akan lebih akrab dengan dua kata ini, yang identik dengan pangan
masyarakat miskin. Artinya, mereka yang mengonsumsi pangan lokal adalah mereka
yang tak mampu membeli beras untuk makanan pokoknya dan akhirnya mengonsumsi
pangan lokal, semisal, ubi sebagai pengganti makanan pokoknya atau pangan
utamanya. Ini bermula ketika beras mengalahkan semua jenis pangan lokal yang
ada. Terdapat usaha monolitik dari pemerintah yang kemudian meniadakan
keberagaman dalam jenis pangan menjadi satu, yakni beras. Bayangkan, masyarakat
Maluku dan Papua yang terbiasa mengonsumsi umbi-umbian dan sagu harus beralih
secara total untuk mengonsumsi beras, sedangkan NTT, Madura dan Jawa bagian
Selatan mengonsumsi jagung dan ketela kemudian terintroduksi beras sebagai
makanan pokok (Masyhuri, 2008). Padahal dibalik pangan yang mereka konsumsi ini
terdapat tatanan tradisional yang sudah ada dan terpelihara sejak dahulu dan
ini terancam putus akibat usaha monolitik pemerintah dalam hal tersebut.
Sembilan bahan pokok (sembako)
dengan tegas mengesampingkan pangan lokal, dengan lebih mengarahkan pola
komsumsi masyarakat pada 'mode konsumsi instan' atau tidak berbelit-belit
seperti halnya jenis pangan lokal dengan variasi produk olahannya yang dianggap
terlalu rumit pengolahannya.
Oleh karena terlalu
berbelit-belit, masyarakat cenderung untuk tidak mengonsumsi pangan lokal dan
beralih ke pangan yang sudah umum seperti, beras.
Dari hasil Mapping Pola
Konsumsi Dan Kesadaran Pangan Lokal Masyarakat Urban[1]
menunjukan bahwa masyarakat urban Yogyakarta tidak atau belum mengenal
pangan lokal, atau menganggap pangan lokal tidak populer atau kurang populer
dibanding dengan jenis pangan mainstream (utama) seperti halnya beras,
gandum, jagung, dan sebagainya. Jenis Pangan lokal yang dimaksud disini antara
lain adalah :
- Ketela Pohon
- Talas
- Ganyong
- Kimpul
- Garut, dan
- Ubi
Ketidakpopuleran atas pangan
lokal ini yang kemudian mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat atas pangan
lokal tersebut. Ketidakpopuleran mencakup jenis, kandungan gizi, produk olahan
dan nilai ekonomis. Terkait dengan ketidakpopuleran pangan lokal ini, dapat
dilihat pada data pengetahuan pangan lokal responden berdasarkan usia :
Usia
|
Sangat Mengetahui
|
Cukup Mengetahui
|
Mengetahui
|
Kurang Mengetahui
|
Sangat tidak mengetahui
|
Pelajar-Mahasiswa (15-25 Tahun)
|
4%
|
24%
|
39%
|
32%
|
1%
|
Pekerja-Pegawai (26-35 Tahun)
|
3%
|
20%
|
52%
|
19%
|
6%
|
Mapan-Berkeluarga (35 Ke Atas)
|
7%
|
15%
|
59%
|
18%
|
1%
|
-Pengetahuan Produk Pangan Lokal-
Dari data mapping pola
konsumsi & kesadaran pangan lokal masyarakat urban dengan tiga ratus
responden pada wilayah urban Yogyakarta yang telah ditentukan, memperlihatkan
bahwa tingkat konsumsi responden terhadap pangan lokal masih sangat rendah
& dan cenderung mengonsumsi jenis yang cukup familiar menurutnya. Dengan
prosentase tingkat konsumsi sebagai berikut : ketelah pohon(81,7%);
ubi(81,0%); talas(39,3%); kimpul(32,0%); ganyong(22,7%); garut(21,0%).
Kemudian alasan responden untuk mengonsumsi pangan lokal
hampir secara keseluruhan mengonsumsi karena kebetulan tersedia (48,3%),
dan pada saat 'kebetulan' itu dianggap instan sehingga dapat dikonsumsi dengan
mudah. Alasan selanjutnya adalah enak(33%), murah(12%), mudah
didapat/ditanam(12%), bergizi(4,7%), bentuknya menarik(2%).
Pangan lokal menurut responden
yang kemudian menempatkannya sebagai makanan pokok (2,33%), sedangkan makanan
pendamping (24,00%), dan sebagian besar responden memposisikan pangan lokal
sebagai jajanan/camilan(73,67%).
Sangat berbeda ketika kita bandingkan dengan Desa Cirendeu yang terletak di Cimahi Selatan, Provinsi Jawa Barat. Warga di Desa ini sangat berdaulat atas pangan yang mereka kelola sendiri secara mandiri sehingga dapat menghasilkan produk-produk olahan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup. Jenis pangan mereka adalah singkong & umbi, umbi di olah menjadi aci, kemudian singkong di olah untuk konsumsi rumah tangga dan produk-produk olahan[2].
Ada yang menarik dari Desa ini, yakni; pepatah tradisional masyarakat Cirendeu :
Teu boga sawah asal boga pare (biar tak punya sawah asal punya padi)
Teu pare asal boga beas (biar tak punya padi asal punya beras)
Teu boga beas asal nyangu (biar tak punya beras asal nanak nasi)
Teu nyangu asal dahar (tak nanak nasi asal makan)
Teu dahar asal kuat (tak makan asal kuat)
Pengertian dari pepatah ini
yakni, padi atau beras bukanlah satu-satunya jenis pangan yang harus dikonsumsi
oleh masyarakat, masih banyak jenis pangan lain yang dapat konsumsi asalkan sungguh-sungguh
untuk memulainya.
Warga Cirendeu sudah mulai
menggagas kedaulatan pangan mereka sejak tahun 1918, melaui pendahulu mereka
yang kemudian baru mulai dikonsumsi setelah 6 tahun berikut atau 1924 setelah
melaui transisi untuk adaptasi masyarakat[3].
Cirendeu jelas belum terkena dampak urbanisasi seperti
wilayah Babarsari yang menjadi wilayah periphery atas guideline
mapping yang kemudian diasumsikan bahwa perkembangan urbanisasi di
Yogyakarta berada pada – salah satunya wilayah Babarsari itu.
Dalam rangka membuka
seluas-luasnya informasi dan pengetahuan akan pangan lokal agar masyarakat
Yogyakarta mengetahui secara tepat jenis pangan lokal, kandungan gizi,
produk-produk olahan, serta nilai ekonomisnya, hal kemudian ditindaklanjuti
oleh CEES, Tifa Foundation dan IMPULSE untuk meminimalisir rendahnya tingkat
konsumsi pangan lokal masyarakat melalui rangkaian-rangkaian kegiatan yang
diselenggarakan dengan substansi yakni meningkatkan pengetahuan serta informasi
akan pangan lokal terhadap masyarakat Yogyakarta.
Permasalahan
|
Kegiatan
CEES-Tifa
|
Tingkat
Konsumsi Pangan Lokal
|
Sosialisasi
Produk Pangan Pada Acara Publik
|
Kualitas Produk
Olahan Pangan Lokal
|
-
Pendampingan Produsen Pangan Lokal
-
Lomba Inovasi Pangan Lokal Menu Populer
|
Pengetahuan
& Intensitas Terhadap Pangan Lokal
|
-
Inisiasi Pangan Lokal Sekolah-sekolah
-
Workshop & Diskusi Publik Pewacanaan Pangan Lokal
-
Perkelasan Kedaulatan Pangan
|
Peredaran
Pangan Lokal & Akses Informasi
|
-
Pembuatan Direktori Pangan Lokal
-
Pembuatan Modul Pangan Lokal Untuk Sekolah
|
Dari data diatas
ter-representasikan bagaimana laju urbanisasi yang tidak dikawal dengan baik
akan mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan sebagai salah satu kebutuhan
dasar, dan berdampak langsung terhadap pangan lokal yang semakin terpinggirkan
disebabkan karena paradigma masyarakat urban yang serba instan, terkontaminasi
dari media-media yang tidak bertanggungjawab yang secara terus-menerus memompa
pola pikir masyarakat agar maninggalkan 'hari kemarinnya'.
Dengan adanya program
“mencapai kedaulatan pangan melalui pemberdayaan masyarakat urban” ini
diharapkan akan dapat menunjang dan mendongkrak posisi pangan lokal yang
menurun drastis tingkat konsumsinya dalam masyarakat urban untuk kemudian
berbalik arah dan segera menempati posisi yang layak dalam masyarakat urban
kita. Hal ini dibutuhkan kerjasama antar berbagai pihak untuk mendukung
diversifikasi pangan itu.
Yogyakarta,
4 November 2012
Hambali Tamher
[1] Center
of Extension and Empowerment Studies(CEES) & Tifa Foundation, 2012. Mencapai
Kedaulatan Pangan Lokal Melalui Pemberdayaan Masyarakat Urban : Mapping Pola
Konsumsi & Kesadaran Pangan Lokal Masyarakat Urban.
[2] Lihat
: http://fotokita.net/blog/2008/10/belajar-ketahana-pangan-dari-desa-cirendeu-cimahi-jabar/
[3] Lihat
:
http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/06/02/12776/157/Pangan-untuk-Rakyat